S
|
ore ini begitu cerah dan indah, sungguh
aku iri pada keindahan yang sedang aku tatap ini. Langit biru yang mulai gelap dengan
awan berwarna orange memberiku kenyamanan tiada terkira. Membentang luas pesona
langit menjadikan aku tetap kecil di bawahnya. Di sekitaran taman kampus yang tidak begitu indah aku masih duduk termanggu. Memikirkan jalan
keluar atas permasalahan sulit yang aku hadapi. Dengan perut kosong yang sedari pagi
tadi belum terisi nasi, aku menikmati rasa. Inikah rasanya kekurangan uang dan kekurangan sahabat.
Aku memang tak banyak memiliki teman, namun apa guna banyak teman bila tiada sahabat yang sejati. Tetapi tak mengapa, aku ingat bagaimana ketika aku kecil dahulu ibuku pernah berkata. "Handry, kamu tidak perlu memiliki banyak teman. Sedikit teman pun tidak masalah yang penting dia bisa dipercaya dan kamu bisa mempercayainya". Dan aku yakin ibu tidak akan pernah salah.
Sekejap aku bangun dari mimpi sebelum tidurku. Sontak aku katakan pada Ajis yang sedang asyik main hp di sebelahku. “Jis, beli rokoklah, uangnya dari loe dulu nanti kalo udah dapet pinjeman, uangnya
gua ganti” kataku kepada Ajis salah satu sahabatku sejak pertama kali masuk di
kampus ini. Sejak siang selepas pulang kuliah aku bersama Ajis. Aku dan dia
sering nongkrong bersama membicarakan bermacam-macam hal. Ajis yang sudah
mengerti keadaanku saat ini pun tidak berlama-lama bergerak. Dia tahu apa yang
harus dilakukannya, maka diapun bersiap membeli kopi hitam dan rokok secukup
uang di kantongnya.Aku memang tak banyak memiliki teman, namun apa guna banyak teman bila tiada sahabat yang sejati. Tetapi tak mengapa, aku ingat bagaimana ketika aku kecil dahulu ibuku pernah berkata. "Handry, kamu tidak perlu memiliki banyak teman. Sedikit teman pun tidak masalah yang penting dia bisa dipercaya dan kamu bisa mempercayainya". Dan aku yakin ibu tidak akan pernah salah.
Sekejap aku bangun dari mimpi sebelum tidurku. Sontak aku katakan pada Ajis yang sedang asyik main hp di sebelahku. “Jis, beli rokoklah, uangnya dari loe dulu nanti kalo udah dapet pinjeman, uangnya
Pertama kali
aku mengenal Ajis adalah saat ospek masuk ke Universitas Islam Sunan Gunung
Djati Bandung ini. Aku berkenalan dengannya sambil menawarkan kamar kost yang
kosong di tempat aku tinggal. Ajis yang asli dari Majalengka itu pun tertarik
dan akhirnya dia menjadi tetanggaku di Kosan Bosnia. Di kosan inilah aku dan
dia belajar untuk saling memahami. Yang kemudian seiring berjalannya waktu, aku
dan dia menjadi bersahabat.
Rokok dan kopi
mempererat persahabatan kita, dan kali ini dialah yang sedang memiliki uang.
Aku seringkali bercerita kepada Ajis tentang segala rencana yang ada dalam benakku.
Berharap aku bisa menemukan sesuatu yang positif dan berkaitan dengan
rencana-rencanaku yang tertumpuk dalam pikiran. Yaa, walau aku tidak selalu
yakin akan ada inspirasi yang keluar dari lidahnya. Tapi setidaknya Ajis adalah
seorang sahabat yang bisa menjadi pendengar yang baik saat aku berbicara
tentang segala macam khayalanku.
Tak lama Ajis
datang dengan rokok gepe dan kopi dengan kap yang masih panas. “ini bos Handry,
rokok dan kopinya tlah datang” ujarnya dengan logat sundanya yang kental. “beuh
hatur nuhun pisan Jis, entar pasti diganti sama gua” jawabku karena merasa
merepotkannya. Lalu duduklah Ajis di depanku dan mulai membuka topik
pembicaraan baru, yakni membahas wanita. Dengan wajah yang sok dewasa dia
membuka kembali lembaran lama yang ingin sekali aku lupakan. Entah apa maksud
dan tujuannya membicarakan keadaanku setelah lebih dari tiga bulan aku putus
dengan mantan pacarku.
Ajis
mengingatkan kembali memori lama ketika aku masih bersama dengan mantan
pacarku. Dia membandingkan sifat dan sikapku saat aku masih bersama Gilmi,
Meycilya, Wilna dan Lia. Bagaikan peramal dia menebak-nebak diantara mereka
berempat aku paling tidak bisa melupakan Gilmi walaupun Lia adalah cinta
pertamaku ataupun Wilna, wanita yang terakhir putus denganku. Sedangkan Ajis
menganggap Meycilya sangat tidak pantas untuk aku rindukan keberadaannya.
Kata-kata Ajis yang secara panjang lebar ternyata mampu membuat kenangan manisku
bersama Gilmi muncul dengan tiba-tiba. Namun Berkenaan dengan itu juga kenangan
buruk bersamanya ikut muncul kembali.
Memang tidak
terelakkan bahwa aku dahulu begitu mencintainya lebih dari apapun. Walau perbedaan
agama adalah alasan yang kuat bagi dirinya untuk lari dari kehidupanku yang
sesungguhnya sudah sangat tulus untuk mencintainya. Gilmi memang wanita keparat
yang bayangannya sangat sulit aku tumpas dari pikiranku.
“elu kenapa
gak nyari cewek lagi aja ban? Siapa tahu kalo lu punya cewek disini, lu gak
akan susah kayak gini lagi” ucap Ajis memecahkan suasana dengan memberikan
saran kepadaku. “Ah, kapok gua pacaran mulu kalo ujung-ujungnya kaya yang
udah-udah, tapi gak apa-apa sih kalo masih ada yang mau sama gua mah” balasku
dengan iringan tawa.
Akhirnya
pembicaraan ini menjadi terbatas seputar wanita saja bahkan hingga terlarut
dalam alasan yang dibuat-buat. Mirisnya tanpa disadari efek dari pembicaraan
ini menghasilkan pemikiran yang tidak aku inginkan. Kini aku mulai berpikir
bahwa aku akan memulai lagi kisah cintaku dari nol. Lalu memulai menulis bait
pertama pada halaman yang baru. “Oh, tidak.. ini tidak mungkin. Sepertinya yang
aku butuhkan saat ini bukan wanita dan cinta namun uang” ungkapku dalam hati.
Obrolan asyik
yang berlangsung lama sedari tadi seketika berhenti ketika suara azan maghrib
terlantun menggetarkan alam kota Bandung yang sudah gelap bermahkotakan bulan
sabit. Sepertinya aku harus pulang dan mulai merencanakan pergi ke kosan teman
yang sekiranya bisa memberiku pinjaman uang.
“ Han sekarang lu mau kemana? Jadi gak lu minjem duit ke si Dodi?” “Iya gw mau ke Dodi dulu, mana tau dia bisa kasih pinjem duit ke gua”. Akhirnya kita pun bergegas ke kosan masing-masing, sebab aku dan dia memang sudah tidak tinggal satu kosan lagi sejak setahun yang lalu.
“ Han sekarang lu mau kemana? Jadi gak lu minjem duit ke si Dodi?” “Iya gw mau ke Dodi dulu, mana tau dia bisa kasih pinjem duit ke gua”. Akhirnya kita pun bergegas ke kosan masing-masing, sebab aku dan dia memang sudah tidak tinggal satu kosan lagi sejak setahun yang lalu.
Dengan arah
yang tepisah kami berjabat tangan dan beranjak ketujuan kami masing-masing.
Arah yang aku tuju kini adalah kosan kawan sekelasku yaitu Dodi. Dodi ini
adalah kawanku asli minang yang berasal dari Pariaman, Sumatera Barat.
Akhir-akhir ini aku sering menginap di kamarnya dan sering bersamanya dalam
urusan kegiatan kuliah di kampus. Ditambah kejenuhan di kamarku pun turut memberi
dorongan agar aku mencari suasana yang baru. Alhasil Dodi dan kamarnya menjadi
suasana baru yang dimaksud itu. Semoga saat ini Dodi bisa memberikanku sedikit bantuannya
untuk menyambung hidupku di Bandung ini.
Sedikit lebih cepat aku berjalan dibanding orang-orang di sekitarku. Langkahku
tidak gontai dan agak terburu-buru bagaikan sedang memburu sesuatu hal penting.
Banyaknya pedagang kaki lima pun tidak mampu menggoyahkan niatku untuk bergegas
sampai di kosan Dodi. Hanya harapan kecil yang ada dalam benakku untuk aku perjuangkan. Yakni berburu
pinjaman uang untuk membungkam lantangnya jeritan lapar dari perutku yang malang ini.
Tak lama akhirnya aku
pun telah sampai di halaman kosan kawanku. Tanpa beban, mataku langsung menatap
tajam kearah tangga. Kosan Dodi memang bertingkat, Dodi tinggal di lantai dua
dengan letak kamar paling pojok dan tergolong aman untuk menyembunyikan gadis
buronannya. Maklum, kawanku yang satu ini memiliki hobi unik yang berkaitan dengan
kaum hawa.
Anak tangga pertama ku injak, lalu seterusnya dan seterusnya. Kemudian aku langsung saja ke arah kamar kosnya. Pintunya sedang tidak tertutup, maka langsung saja aku memberi salam. “Assalamualaikum” ucapku memberi salam. “Waalaikumsalam, eh Handry. Ayo sini masuk” jawab Dodi membalas salam dan mempersilahkan aku agar masuk ke kamarnya.
Anak tangga pertama ku injak, lalu seterusnya dan seterusnya. Kemudian aku langsung saja ke arah kamar kosnya. Pintunya sedang tidak tertutup, maka langsung saja aku memberi salam. “Assalamualaikum” ucapku memberi salam. “Waalaikumsalam, eh Handry. Ayo sini masuk” jawab Dodi membalas salam dan mempersilahkan aku agar masuk ke kamarnya.
“Abis dari
mana lu ndry?” “Biasa Dod, abis nongkrong di depan kampus bareng kawan gw”
“Oouh.., ah ga ngajak-ngajak nih” “dikirain lu sibuk, mkanya gak gua sms
elunya”.
Aku dan Dodi berbasa-basi sambil menonton televisi yang sedari aku belum datang, Dodi sedang hikmat menontonnya. Sesekali kami merespon tayangan di tivi dengan opini atau komentar kami yang mendekati jenius. Karena kejeniusan kami, maka kami hanya menjadi pengamat berita saja, itu pun di lingkup kosan. Kebiasaan seperti ini seringkali muncul di kosan Dodi yang memberikan banyak warna dalam pergaulan kami dengan teman kelas yang lainnya. Di sini, diskusi ringan dan bebas kerap ditunjukkan oleh kami. Namun, dalam hitungan menit suasana akan berubah ketika aku mengatakan, “Dod, punya duit gak? Gua minjem sedikitlah”.
Wow, tebakkanku
kali ini tidak meleset dari perkiraan. Kali ini Dodi berkata sedang dalam
posisi tidak memiliki uang. Celakanya dia pun berupaya untuk meyakinkan aku bahwa dia dalam keadaan yang senasib sepenanggungan seperti keadaanku. Dan Dodi pun merasa pusing
dengan keadaannya itu. Dodi dengan berujar kepadaku, dia baru akan meminjam
uang pada temannya besok. Itupun tidak pasti katanya. Lalu bagaimana dengan aku?
Merasa
kenyataan hari ini sangat pahit, akhirnya aku bertanya kepadanya. “Dod, kira-kira
siapa yang bisa minjemin duit sama gua yaa” tanyaku dengan wajah pucat pasi.
Beberapa nama teman dikelas pun disebutkan olehnya. Nama-nama mereka yang
disebutkan Dodi adalah mereka yang memiliki keadaan finansial yang sehat. “Ndry
mending lu coba minjem ke si Dewi aja, mana tau dia mau minjemin” jawab Dodi
mengarahkan aku pada salah satu kawan di kelas. Menanggapi sarannya yang
mungkin bisa diterima oleh akal, aku menimbang-nimbang ide itu. Yup, dulu aku
pun pernah meminjam uang padanya dan dia juga wanita yang cukup ramah.
Dirasakan olehku saran Dodi sangat mungkin untuk menghasilkan yang diharapkan, maka tidak ada salahnya bagiku mencoba. “Mungkin ini jawaban untuk problem hari ini” pikirku dalam angan. Tidak butuh waktu lama dan tidak perlu membuang waktu terlalu banyak aku pun bersiap untuk menuju kosan Dewi.
Kosan Dewi
tidak jauh dari kosan Dodi. Kosan Dewi hanya berada di seberang jalan raya, tepatnya
di belakang mini market di sekitar kampus. Dia berasal dari Sumatera Utara dan menurut
sepengetahuanku dia orangnya cukup baik. Karena alasan itu pula aku mau
memberanikan diri mencoba meminjam uang kepadanya. Oh iya, walaupun Dewi itu
berasal dari Sumut tetapi Dewi itu bersuku jawa. Orangtua dan kakek neneknya
sudah lama menetap di Sumatera Utara dan semenjak itu mereka tidak pernah lagi
pulang ke Pulau Jawa.
Sama halnya
dengan Dodi, kamar kost Dewi bertingkat dua dan kebetulan kamar Dewi ada di
lantai dua paling pojok. Hanya bedanya, kosan Dewi lebih mahal dan tentunya
lebih bagus kondisinya dibanding kost tempat Dodi tinggal. Suasananya cukup nyaman namun menurut kabar yang
beredar kosan yang dihuni Dewi ini tidak aman alias rawan maling.
Tanpa pikir panjang aku naiki saja
anak tangganya perlahan-lahan agar suara langkah kakiku tidak terlalu berisik.
Setelah itu aku bergegas melewati lorong gelap yang panjangnya hanya beberapa
meter saja. Sebelum kamar Dewi aku harus melewati dua kamar, satu di sebelah kanan
dan satu lagi di sebelah kiri.
“jadi atau jangan yaah gua minjem duit, kok gua mendadak ragu” kataku dengan perasaan yang tidak enak. Namun sudah terlanjur berada di tempatnya maka mundur adalah pilihan untuk mati.
“tok tok tok, Assalamualaikum.. Dewi..” aku mengetok pintu sambil mengucap salam dan memanggil namanya. “Waalaikumsalam, siapa?” sahutnya dengan nada khas melayu yang enak di dengar. “Ini gua Handry Lumban wi, gua ada perlu sebentar nih” balasku lagi. Dan wow, akhirnya pintunya dibuka, kini aku bingung dari mana harus memulai perkataan. “Tuhan bantu aku saat ini”. Aku mengeluh lirih dalam hati.
“jadi atau jangan yaah gua minjem duit, kok gua mendadak ragu” kataku dengan perasaan yang tidak enak. Namun sudah terlanjur berada di tempatnya maka mundur adalah pilihan untuk mati.
“tok tok tok, Assalamualaikum.. Dewi..” aku mengetok pintu sambil mengucap salam dan memanggil namanya. “Waalaikumsalam, siapa?” sahutnya dengan nada khas melayu yang enak di dengar. “Ini gua Handry Lumban wi, gua ada perlu sebentar nih” balasku lagi. Dan wow, akhirnya pintunya dibuka, kini aku bingung dari mana harus memulai perkataan. “Tuhan bantu aku saat ini”. Aku mengeluh lirih dalam hati.
Pintunya mulai terbuka dengan perlahan-lahan. Lalu nampaklah
wajah Dewi dengan senyum kecilnya namun terheran dengan kedatanganku yang tidak
biasanya. "duh langsung ngomong atau basa-basi dulu yaa" pikirku menimbang-nimbang dengan gelisah.
Ketahuilah, apa yang aku lihat kini, mengingatkan aku pada rasa dimana aku memperhatikannya di semester-semester lampau. Dimana aku merasa wanita ini sama sekali tidak suka mencari gara-gara. Lalu aku menyukai segala kesederhanaan yang dimilikinya. Baik sebagai teman atau... “oh, nggak, nggak.. itu gak mungkinlah” kataku menepis pikiran yang tidak seharusnya aku pikirkan.
Ketahuilah, apa yang aku lihat kini, mengingatkan aku pada rasa dimana aku memperhatikannya di semester-semester lampau. Dimana aku merasa wanita ini sama sekali tidak suka mencari gara-gara. Lalu aku menyukai segala kesederhanaan yang dimilikinya. Baik sebagai teman atau... “oh, nggak, nggak.. itu gak mungkinlah” kataku menepis pikiran yang tidak seharusnya aku pikirkan.
Memang harus
aku akui aku pernah ingin mencoba dekat dengannya namun aku belum mencobanya
dengan sangat baik. Aku berpikir, suatu ketika nanti mungkin akan ada waktu
bagi kami untuk berbicara jauh tentang Sumut atau hal yang lainnya. Meskipun
keinginan yang pernah ada waktu dulu sudah tidak ada lagi, namun canggung masih
melekat di dada ini. Tapi kembali ketujuanku, kini hanya satu harapanku yakni
mendapatkan pinjaman uang darinya. Dan sampai akhirnya, akupun dipersilahkan
masuk ke dalam kamarnya. Dengan cukup ramah aku dipersilahkan masuk ke kamarnya. Meski aku yakin betul dia sudah bisa menebak maksud kedatanganku adalah karena
butuh sesuatu darinya.
Sungguh tidak aku bayangkan, harga diri ini sudah sedikit berkurang dibanding saat permasalahan duit tidak separah saat ini, “Dewi elu bisa kan ngobrol sama gua?” kataku membuka topik dan langsung menyambung perkataan lagi. “begini wi gua ada yang mau diobrolin nih”. “mau ngobrol apa nih emangnya?” balasnya kembali bertanya. Sambil menahan malu, dengan berbelit dan kalimat yang tertahan di ujung lidah aku memberanikan diri untuk berbicara jujur. “Dedew lu punya duit yang bisa di pinjemin gak sama gue, coz gue lagi butuh banget nih. Minggu depan pasti gua ganti koq, lu tenang aje, percaya deh sama gua” ujarku dengan untaian kata menghiba. Sambil ku mencuri-curi pandang kepadanya, aku menebak-nebak apakah dia akan memberikan aku pinjaman uang atau tidak. “Oh Dewi gua mohon buat kali ini aja. Sambungkanlah hariku” ucapku dalam hati.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar