Selasa, 08 Oktober 2013

Berakhir di Ujung Gelisah


Aku melintasi jalan ini dengan penuh suka dan duka. Terus berkelana menjemput sebuah pencarian yang belum aku dapatkan. Namun sedapat mungkin aku mencoba melawan cobaan yang terus memaksaku berhenti. Pandanganku menjadi buram ibu, mungkin ada yang berlinang dimataku saat ini. Ayah, tubuhku ada disini, tetapi mengapa jiwaku merasakan hampa.

Bagaikan burung yang lelah untuk terbang. Ingin sejenak berhenti, namun tiada tempat untukku hinggap. Sedangkan sayap ini sudah semakin tidak bertenaga lagi. Mungkin aku terlihat tegar dari luar meski sesungguhnya aku rapuh dari dalam. Aku pun bertanya kepada hatiku. “Ada apa dengan diriku?”.

Mataku pun semakin sayup, dan dadaku semakin sesak bernafas. Aku merasakan udara yang mengelilingiku pun berubah menjadi dingin dan semakin dingin. Oh, tidak mungkin, aku sudah tiada berkeringat lagi. Mungkinkah ini keadaan ketika seseorang menjelang lenyap. Mengapa rasanya begitu menyiksaku dari ujung rambut hingga ujung jari kakiku yang terkulai lemas.

Alunan lagu yang kudengar indah sebelumnya, kini menjadi cacian atas segala khilafku. Semoga saja jemari ini masih sanggup memberikan salam kepada sang bintang dan ikan-ikan dilaut. Semoga salam tersampaikan untuk kamu yang begitu mengenal kesepianku. Aku berharap setiap dari kamu, semakin merindukan sosok aku yang menyedihkan ini.

Semua kata yang sebelumnya tertahan di relung hatiku, kini ku tulis sederhana. Di hati ini ada beban yang tidak bisa aku lewati dengan mudah. Banyak cerita yang sudah kita lalui, dan dikala itulah banyak pula dosa yang tercipta. Maukah setiap dari kamu memaafkan diri ini, dan melupakan kebencian yang melekat pada namaku.

Kesalahan yang ku perbuat secara sengaja atau tidak, baik itu kesalahan besar maupun kecil. Aku mohon maafkan segala kesalahanku. Aku hanya ingin pergi dengan tenang tanpa beban membuntutiku. Dengan begitu kepergian ini memang berguna untuk aku dan kamu. Tolong, maafkan aku.

Diluar hujan turun dengan derasnya, sepertinya langit ikut terharu dengan nasibku. Aku sudah tidak perduli lagi dengan waktu. Kini aku bisa menangis lepas, menangis seperti ketika aku dilahirkan dulu. Menangis karena keindahan didunia ini tidak mampu untuk ku genggam. Aku terlahir dengan tangisan yang membuat orang tersenyum ketika itu. Dan aku rela bila harus mengakhiri nafas terakhir dengan tangisan sendu.

Berjanjilah, jangan ada air mata untuk mengiringi kepergianku ini. Walaupun aku tidak menutup mata dengan tersenyum, namun aku ingin kalian tersenyum. Tersenyum di depan tanah yang menumpuk dengan papan yang bertuliskan namaku. Ceritakanlah namaku dengan kisah yang membahagiakan, meski aku tidak berharap untuk dikenang.

Sepertinya waktuku sudah hampir tiba. Degup jantungku sudah berdetak semakin cepat. Pandangan mataku pun mulai buram. Jemari ini terasa mulai mati rasa dan tiada bertenaga lagi. Sudah cukup bagiku memberikan salam perpisahan untuk setiap dari kamu. Mengertilah, ini adalah sebuah pilihan dari hati yang lemah. Untuk kamu, berjuanglah untuk dirimu sendiri dan jangan akhiri hidupmu dengan tetes air mata. Bahagiakanlah hidupmu, karena tidak akan ada orang lain yang akan membahagiakanmu.

Dengan isak tangis yang memilukan ini, aku berhenti bernafas. Di ujung gelisah yang menyudutkanku, aku menutup mata ini. Maafkan aku, harus pergi lebih dulu dari kamu. Semoga kita bertemu lagi di dunia yang berbeda. Di dunia indah yang tidak harus berjuang demi hidup dan cinta.

Tidak ada komentar: